Pisah dan Penyesalan

                 Dirimu segalanya dan aku sangat menyesali kepergianmu.

Kata-kata itu terus terulang dalam kepalaku, menjebakku dalam lamunan menyedihkan tengah malam.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana dinginnya cuaca di Bandung menelisik tulang-tulangku, juga kuingat saat itu adalah hari ulang tahunku. Tepat rasanya pergantian usia dari 19 ke 20 tahun. Kuambil perjalanan jauh dari Tangerang ke Bandung agar aku dapat mengilhami hidupku, aku butuh kilas balik dalam perjalanan panjang selama 4 jam, di bawah guyuran hujan, ditemani cahaya temaram di dalam bis.

Aku ingin melihat kembali sejauh apa aku telah melangkah, mengingat tentang segala kesulitan yang berhasil kulalui, semua keputusan, dan risiko yang kuambil hingga menjadikanku seperti sekarang. Kupasang earphone kesayanganku, kusandarkan kepalaku ke jendela, kupandang kemilau lampu kendaraan yang mengantre macet keluar tol. Hujan turun tanpa diskusi, memecah air mata, membahasi masker yang sudah kupakai dari pagi.

Aku mengingat satu per satu tentang orang-orang penting, memang tak selalu ada tapi mereka semua berperan dalam hidupku. Entah apakah sebagai antagonis atau protagonis, mereka adalah bagian dari semua kisahku.

Mengingat kembali tentang kamu, perjalanan kita selama 3 tahun bersama, membuatku merasakan anugerah yang luar biasa. Dari semua hujan badai hingga kemarau yang kita lalui, aku hanya mau bilang 1 kalimat padamu, Aku bahagia bersamamu. Walau jauh, terima kasih karena sudah menjaga hatimu untukku, juga terima kasih sudah berkorban sebanyak ini demi hubungan kita. Hingga akhirnya aku terlelap dalam lantunan lagu-lagunya Pamungkas, pulas hingga tibalah aku di Cihampelas, Bandung.

Belakangan inipun, mataku sulit terpejam, aku tak siap untuk usiaku yang baru. Aku tak tahu bagaimana harus berjalan dan melangkah, tetapi aku mau sebuah kejelasan dalam hidupku. Perlahan tapi pasti ucapan ulang tahun memenuhi notifikasi gawaiku, tak terlewatkan juga darimu. Kubaca dan kubalas, namun sejujurnya tak satupun ucapan yang membuatku merasa amat bahagia. Entah di mana aku saat itu, tapi aku merasa sangat kosong.

Kutatap diriku dalam cermin, kurus tinggi dan tidak begitu berarti. Saat itu pukul 02:00 dini hari aku mengintrospeksi diri, bertanya pada hati, sebenarnya siapa jati diri? Ada banyak kesalahan yang ingin sekali kuperbaiki, karena evaluasi saja tak mencukupi. Kuingat banyak orang baru datang menghampiri, tapi juga banyak yang terlepas begitu saja tanpa kuingini.

Hari itu hari tersedih, boleh jadi ini pernyataan berlebih, tapi benar adanya ini yang terjadi. Rasa di dadaku memuncak, merasa tak nyaman, selayaknya memberi sinyal bahwa aku akan mengakhiri hal yang seolah-olah abadi. Malam itu, aku menangis seorang diri.

Hingga matahari tiba menyapa pagiku dengan sinarnya yang begitu sedikit, langit begitu mendung seolah memberi gambaran hatiku. Ditengah acara kecil yang dibuat untukku, sebuah perdebatan kecil terjadi, durasinya hanya 15 menit namun itu mengakhiri apa yang telah terjalin selama 3 tahun terakhir.

Aku hanya merasa begitu kecewa padamu, rasanya begitu sesak ketika tahu kamu tidak memiliki kepercayaan apapun padaku. Juga hal-hal lain yang tak bisa kutuliskan secara gamblang mengenai kita yang terus berjalan dua arah, kamu dengan maumu dan aku dengan inginku. Kemudian, dengan alasan itu, kita berakhir. Dengan penuh rasa sakit, rasanya tak mau kamu pergi namun kenyataan sudah tak bisa lagi kompromi.

“Aku selesai sama kamu, cukup sampai sini saja menemani langkahmu, Ai.”

Kalimat itu jadi pematah, singkat namun kutahu jelas pasti terukir dengan perih di hatinya juga hatiku. Dulu, aku bertanya mengapa dua orang yang saling cinta memutuskan untuk berpisah, sekarang, aku mendapat jawaban itu. Ternyata cinta dan komitmen untuk saling setia saja tidaklah cukup. Ada hal-hal lain, yang harus juga selaras agar sesulit apapun jalannya tetap bisa berjalan Bersama.

“OK, terima kasih ya.”

Jawabmu begitu singkat, aku hanya dapat menahan air di pelupuk mata, membaca pesan itu tanpa sangka bahwa engkau juga menginginkan kita berakhir dan berjalan sendiri-sendiri.

Andai kamu tahu bahwa aku butuh banyak sekali keberanian untuk dapat mengatakan kepahitan itu kepadamu, itu bukan pertimbangan sehari, ada banyak pertengkaran sebelum ini dan terlalu banyak kata pisah yang terlontar dari hati kita masing-masing. Ada saatnya itu kamu yang mau mengakhiri, kemudian di satu sesi pertengkaran yang lain, aku yang ingin berhenti. Tapi kita selalu bertemu jalan untuk kembali. Kita berjalan bersama, kau genggam lagi tanganku, kita tersenyum dan kemudian terluka lagi.

Aku dan kamu menyadari, kita tak berjalan kemanapun. Stok cinta yang semakin menipis karena komunikasi yang sangat minimalis, kita jarang berbagi rasa hingga rasanya memahamimu jadi hal sulit untukku. Menurutku perpisahan adalah yang terbaik karena bukan lagi jarak yang memisahkan kamu dan aku, namun juga ada dinding yang begitu besar menengahi kita. Sehingga sekeras apapun aku berteriak, memintamu untuk memahamiku juga rasanya percuma dan sebaliknya juga padamu.

Kita mendadak tuli akan perasaan satu sama lain, menjadi acuh dan kemudian tak lagi peduli dalam aksi. Semua rasa dan khawatir dipendam sendiri dalam hati. Perang dingin melemahkan semua kehangatan yang sudah terpatri. Hatiku sudah membiru sejak Januari. Sudah kuminta kamu untuk kembali menghidupkan apa yang hampir mati, namun nyatanya tiada yang berhasil.

Memang rasanya tak pernah sanggup untuk melepasmu, mengingat dulu kamu selalu ada di saat terendahku, walau jauh suara dan telingamu terasa dekat meskipun itu hanya untuk mendengarkan keluhanku. "Semangat" jadi 1 kata yang selalu terucap dari bibirmu di kala aku ada pada titik terendahku.

Namun entah bagaimana, semuanya perlahan menjauh.

Rasa di hati menjadi riuh,

Mempertanyakan seberapa jauh kamu mencintaiku sekarang?

Percakapan di telepon itu singkat, aku berteriak marah dan menangis membicarakan soal pelik tentang kisah kita yang begitu memekik, entah sekeras apa kita berdua berlari dan mencari jalan terbaik namun yang menjadi solusi adalah mengakhiri semua yang telah terjadi.

Aku tak menyesali waktuku saat bersamamu, tapi aku merindukan kehadiranmu yang walau pasif namun kau selalu di sana menantiku. Aku harap kamu melarangku untuk pergi, aku harap kamu meneleponku kembali karena kau sadar betul aku cuma marah sehari. Tetapi kau juga menyetujui semua ini. Kata-katamu menguatkanku untuk segera beranjak pergi. Berhenti menemanimu, jadi kawan debatmu. Dan kita selesai sampai di sini.

Dan dalam ruangan kecil ini, ketika jam dinding menunjukan arahnya ke pukul 03:00 pagi, aku masih sesekali menangis saat mengingatmu, kadang juga tersenyum mengingat semua kenangan manis yang masih saja berputar indah dalam kepalaku. Aku di sini duduk dalam pembaringan, berusaha memejamkan mata dan menerima makna pisah yang terjadi, hanya saja aku bertanya-tanya, apakah kamu Bahagia dan mensyukuri semua ini? Jika benar itu adanya yang kau rasakan, maka aku tak salah mengambil keputusan untuk pergi, meninggalkanmu.

Komentar

Postingan Populer