Adegan Dari Mimpi
Tiga alarm sudah selesai
berbunyi, namun Mei belum bergeser sedikit pun dari tempat tidurnya. Pandangannya
terfokus pada layar smartphone. Ia masih sibuk mengurus instastory paginya.
Ia lempar iPhone 13 yang baru dibelinya minggu lalu, segera menuju kamar
mandi dan merenung walau sudah terlambat 5 menit, begitulah Mei. Anak Tuan dan
Nyonya. Mei termasuk siswi unggulan. Ia pintar, tidak terlalu tinggi dan
berparas cukup manis tetapi tidak begitu cantik. Namun, karena sikapnya angkuh,
Mei jadi tidak punya teman di sekolah, yang dia miliki hanyalah teman fiktif
dunia maya dan Kakaknya, Rio.
Petang hari pukul 14:00, Mei dan Rio
bertemu di sebuah bangunan tua yang sedang direnovasi, mereka sering
menghabiskan waktu bersama di lantai 5 bangunan itu. Rio adalah segalanya untuk Mei, seorang kakak
dengan peran ganda sebagai teman. Bagi Rio, Mei adalah kesayangannya, tiada
kata tidak untuk Mei. Di sudut penuh debu, Mei duduk sembari membaca webtoon
popular karya Taejoon Park tentang bullying di Korea. Sementara, Rio
sibuk berlatih skateboard pada puing-puing yang tidak rata.
“Mei, sebelah sini deh”. Panggil
Rio, “Cobain pake skateboard dari sisi ini, seru banget loh.” tukasnya.
Mei berdiri menghampiri Rio, “ah
bercanda, sebelah sana lobang gede gitu, jangan ngadi-ngadi lah lu nyari
penyakit bang.” ketus Mei.
“Ini bukan ngadi-ngadi, liat
sendirikan tadi abang udah coba. Aman pasti.” jelas Rio.
Mei tersenyum, mengangguk tanda
setuju. Ditarik sedikit rok panjang yang ia kenakan, satu kaki di atas papan skateboard,
kemudian meluncur. Rio mengalihkan pandangannya, dan pergi mengambil air
mineral dalam tas.
“brakkk!” tiba-tiba bunyi
keras. “Bang-bang tolong gue!” teriak Mei, Rio menoleh dan luar biasa
kaget melihat adiknya tergantung, berpegangan pada lantai rapuh di satu sisi
lubang. Wajahnya pucat, Rio bergegas, berlari. Tangan Mei berdarah, bongkahan
bangunan melukai jari-jari mungilnya.
Rio meraih tangan Mei, digenggamnya
sekuat mungkin, berusaha menarik Mei keluar dari sana. Namun, Mei kehilangan
tenaganya, keringat yang tak berhenti mengucur membuat tangannya licin, sesaat
Mei kehilangan kesadarannya, dan Ia terjatuh.
Rio berlari menyusuri anak tangga
menuju lantai 4, melihat Mei tergeletak tanpa daya, dengan luka bagian kepala
cukup serius. Ia gemetar. Darah terus mengalir, wajah Mei perlahan memucat, dan
Rio masih berusaha berlari sambil menggendong Mei untuk keluar dari tempat itu,
dan segera mereka ke Rumah Sakit.
Operasi darurat dan transfusi darah
sudah dilakukan, efek anestesi juga seharusnya sudah selesai sebab sudah 1x24
jam sejak kejadian kemarin. Namun, Mei masih tertidur di ruang ICU. Rio sangat
menyesal, dipukulnya tembok berkali-kali, dia menyalahkan dirinya atas kejadian
itu. Tuan dan Nyonya masih di luar negeri untuk mengurus bisnis. Dokter baru
saja menyatakan koma, dan merekomendasikan pihak keluarga untuk mencabut alat
bantu pada tubuh Mei. Rio menolak, berandai bahwa Mei pasti berhasil kembali.
Semua orang berkerumun, kecelakaan
itu membuat seorang gadis terpental 10 meter jauhnya, sebelum mereka bisa
menolong gadis itu, ia sudah dapat berdiri. Ia begitu panik, sehingga ia
berlari sejauh mungkin. Semua mata tertuju pada gadis lusuh dengan luka, yang
baru saja terpelanting jatuh tertabrak mobil, berlari.
Ia mulai memperlambat lajunya,
mengatur napas, dan berjalan sepelan mungkin. Terhenti pada sebuah toko buku, tertegun
pada sosok di pantulan kaca.
“Anjir! Ini siapa, ini bukan gue!”
gumam Mei, dipegangnya rambut panjang itu, ia terkagum dengan mata sipit berwarna
coklat itu, sangat cantik. Lalu, Mei berjalan mundur. Menyaksikan perempuan
dengan kondisi demikian, pemilik toko itu keluar. Mei berlari.
“Tunggu, hei! Mau kemana kamu?” teriak
Si Pemilik Toko Buku. Ia mengejar Mei, sebab ia paham perempuan itu butuh
diobati, kaki tangannya luka, darah mengucur dari pelipis kanan. Tak kuat dalam
pelariannya, Mei terjatuh, tentu saja, tubuh itu, bukan tubuh Mei.
Dengan lembut ia merawat nona cantik
itu. Menutup tokonya, dan memutuskan menunggu sampai perempuan itu sadar.
Begitu sabar menanti ia terbangun, sembari membaca buku Shakespeare, Romeo
& Juliet. Mei tertidur dalam selimut hangat, dan sofa empuk toko
buku. Ia terus meracau, tatkala keringatnya
mengucur deras.
“Rio di mana Rio? Ini bukan badan
Mei.” ucapnya dalam racau itu. Kalimat itu terus berulang hingga ia
terbangun.
Tatapannya penuh tanya pada pria itu,
mengkode tentang apa yang sebenarnya terjadi. Pria itu hanya tersenyum sambil
memberi segelas air hangat, juga menunggu penjelasan tentang dirinya. Mei
berdiri menuju kaca, memandangi tubuh itu dari kaki hingga ujung rambut, cantik
namun sangat sederhana. Kemudian, ia menangis.
“I don’t know who I am, this ain’t
me. Aku gak seharusnya di sini, aku harus pulang!”ujar Mei.
Air mata berderai, ia sungguh
kebingungan. Pria itu hanya mendengarkan dari jauh, tentunya dengan dahi
mengkerut. Mei duduk disampingnya, mencoba menjelaskan apa yang terjadi
berdasarkan apa yang ia ingat. Sam tidak percaya akan penjelasan Mei, sangat
diluar nalar, bagaimana bisa seseorang bertukar tubuh? Seraya memberikan tas
yang Mei bawa, ia menunjukan bahwa kartu identitas bernama Ren adalah miliknya.
Terjebak dalam tubuh Ren, Mei sudah
cukup menggila. Ia ada di tempat yang bahkan ia tak pernah temui dalam
pelajaran geografinya. Tak ada cara untuk menghubungi Rio. Setelah mengambil
waktu untuk tenang, kini Mei bersedia pulang ke rumah Ren, dan bersikap seperti
Ren. Sam mengantarnya pulang, pria ini sangat manis dan berperangai baik. Ia
meninggalkan nomor teleponnya untuk Mei yang sekarang menjadi Ren untuk tetap
terhubung.
Di gerbang putih tua itu berdiri
seorang nenek yang sedang tersenyum, tangannya melambai menyambut kedatangan
cucunya. Mei tidak tahu siapa orang itu, namun ia tetap menghampiri dan
menyapa.
“Halo, Nek. Mau tanya di mana
rumah Ren ya?” ucap Mei lembut.
“Loh, loh..kamu ini ya bercanda
terus Ren, Ren… Ini ya rumahmu..” jawab Nek Mira sambil menggelengkan
kepalanya, ia terkekeh dan menatap penuh cinta anak itu.
“Dahi dan tanganmu kenapa Ren? Cepat
masuk , ganti baju dan istirahat dulu, hari ini jangan bantu Nenek dulu ya.” Tambahnya.
Mei hanya tersenyum, dan penuh rasa
bingung. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Apa yang harus dia lakukan?
Akankah kejujurannya diterima? Dan, bagaimana caranya Ia kembali pada tubuhnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya. Ia berjalan memasuki rumah,
terasa asing, tetapi familiar bagi tubuhnya saat ini. Beberapa figura di
dinding menjelaskan keberadaan Ren di rumah ini. Rumah sederhana, namun begitu
hangat. 180◦ dengan kehidupannya sebagai Mei, serba mewah dan serba ada tapi
luar biasa hampa.
Ia membaca diary di atas meja
belajar Ren, semua perasaan, mimpi juga kejadian istimewa tertulis di sana.
Dalam waktu singkat, Mei mengenal Ren dengan baik. Ia juga memutuskan untuk
hidup sebagai Ren sampai ia menemukan cara untuk kembali, karena ia yakin
dirinya masih ada di suatu tempat lain, di mana ada Rio.
Hari demi hari berlalu, Mei cepat
belajar dan menyesuaikan diri. Pergi sekolah sebagai Ren, memiliki teman baik,
juga seorang Nenek penyayang membuat Mei bahagia. Setiap hari sepulang sekolah
ia membantu Nenek berjualan di depan rumah, makanan legendaris Mak Mari selalu
jadi rebutan ibu-ibu komplek rumahnya. Lambat laun Mei mengerti, bahwa
kehidupan sederhana seperti ini adalah hal yang selalu diinginkannya, cinta dan
kasih sayang dari sosok Nenek Mari bisa mengobati luka hatinya sebab ia selalu
ditinggal orang tua nya. Walau orang tua Ren sudah lama berpisah karena
kecelakaan mobil, Nek Mari selalu berusaha memberikan kasih sayang yang sama
sempurnanya seperti punya sepasang orang tua.
Perjalanan pulang-pergi sekolah
ditempuhnya dengan berjalan kaki, matahari pagi selalu menyapanya pukul 06.30
pagi, hari ini Mei tersenyum lagi, sebab Sam sudah berjanji akan menemaninya
mencari buku pulang sekolah nanti. Sam, pemilik toko buku yang merawatnya
setelah kecelakaan itu sekarang menjadi seseorang yang penting baginya. Mereka,
Mei, Nenek Mari dan Sam sering menghabiskan waktu Bersama.
Suatu ketika, telepon berdering
berkali-kali, jarum jam menunjuk pukul 11 dini hari.
“Sam, nak, kamu lagi sama Ren?” suara Nek Mari khawatir.
“Oh engga, Nek. Memangnya Ren gak
ada di rumah?” jawab Sam.
“Iya, tadi sore izin mau keluar
cari buku, tapi sampai sekarang belum pulang.” jelas Nek Mari.
Segera setelah telepon ditutup, Sam
melakukan pencarian, nomor telepon Ren tidak aktif, tak ada cara untuk
meraihnya. Sekolah, toko buku, dan jalan-jalan menuju rumah sudah ditelusur,
tetapi Ren tidak ditemukan. Kemudian, Sam teringat tempat kesukaan Ren dan
menuju ke sana, sebuah jembatan dengan pemandangan indah, senja terlihat lebih
baik dari sana. Sawah dan sungai membentuk sebuah sketsa indah karya Tuhan. Di
jembatan itu, ada seorang perempuan terduduk merunduk, rambut panjangnya
tergerai indah, ia sendiri. Sam berlari ke arahnya, tanpa suara, lalu duduk di
sampingnya.
“Kamu kenapa, Ren?” Tanya Sam, ia berusaha melihat ke
wajah Ren yang tertutupi. Ren menyudahi ratapannya, berbalik memandang ke arah
suara. Menatap heran, tertegun untuk sejenak. Matanya sembab, dia sungguh
bersedih kali ini. Sam membelai rambut rambutnya, dan membiarkan gadis itu bersender
padanya. Keduanya terdiam, namun air mata tak kunjung berhenti.
“Aku kangen pulang, Sam. Aku
kangen abangku, Rio.” ucap Ren memulai pembicaraan setelah menit-menit
penuh keheningan.
Sam menatap Ren, menghapus air
matanya. “Ren, ini rumahmu, aku dan Nenek.” balasnya singkat.
“Iya, ini rumah Ren, tapi bukan
rumah Mei. Aku udah pernah kasih tau kamu, tubuh ini bukan tubuhku, aku
terjatuh dari lantai 5 dan terbangun di jalan dengan tubuh ini lalu bertemu
kamu.” jelasnya lagi, kali ini lebih serius. Sam menghela napas, mencoba
mendengarkan.
“Aku harus kembali, Cuma aku gak
tau gimana caranya pulang ke tubuh itu, Rio pasti khawatir dan sangat sedih.” lanjutnya
lagi, tangisnya pecah. Sam memeluk erat tubuh mungil itu, mencoba menenangkan
dan membuatnya tak merasa sendiri.
Dalam pelukan itu, Ren berkata “It’s
okay kalo kamu gak percaya, aku pun masih gak nyangka hal kaya gini bisa
terjadi. Tapi, nanti kalau aku tiba-tiba pergi dan gak di sini lagi, aku harap
kamu bisa jaga Nenek dengan baik. Aku juga berharap kita bertemu lagi.” Kata-kata
itu terucap dengan terbata-bata.
Mereka saling memeluk erat, udara
malam yang dingin ditemani bintang-bintang yang bersinar indah menjadikan momen
itu tak terlupakan.
“Mau kamu Ren atau kamu Mei, tubuh
ini atau tubuh itu, aku akan selalu sayang dan akan selalu mengenali kamu. I
love you.” ucap Sam, sembari membelai rambut Ren, ia tersenyum, menatap
gadis itu dengan perasaan mendalam.
Ren menutup matanya ketika Sam
mendekatkan dirinya, begitu dekat sehingga mereka dapat merasakan hebatnya
debaran jantung antara satu dan lainnya. Mereka berpegangan tangan ketika bibir
mereka bertumpu, sesekali Ren menarik napas dan mempererat genggamannya, Sam
mulai menciumnya dengan mesra. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, lembut
bibirnya atau rasa sayang dalam ciuman itu. Mei bahagia, ini pertama kali
baginya. Rasa marah dan kesal berhasil diredam, sekali lagi hal sulit berhasil
terlewati.
Malam itu berlalu, Ren pulang, dan
masih tersenyum. Ia tak berani menatap Sam, pipinya terlalu memerah, jantungnya
berdebar kian ia menatap Sam, fenomena jatuh cinta membuatnya terdiam malu
untuk sekadar mengakuinya. Sebagai Mei, ia tak pernah jatuh cinta. Sebagai Ren
dan Mei, dia jatuh cinta. Mereka adalah sepasang kekasih selepas hari itu.
Kehidupan Ren atau Mei , semuanya
berubah. Menjadi lebih baik tentunya, tubuh Mei hari ini masih terbaring di
rumah sakit, namun jiwa Mei sudah berkembang, kapasitas hatinya sudah lebih
luang untuk dapat menerima hidup dan segala kekonyolannya. Begitupun, Ren. Ia
berhasil menjadi siswi terbaik di sekolahnya untuk sebuah lomba puisi.
Raga
terperanjat dalam amarah,
Menyesakkan
dada, memuntahkan murka,
Menciptakan
kesialan lain. Ah, aku benci.
Kalau
saja diri ini punya banyak kontrol diri,
Mungkin
sampai sekarang kau masih di sisi.
Tak
perlu lagi aku memungkiri, atau mencari-cari
Karena
definisi rumahku itu kamu, oh kasih.
Hadirin bersorak-sorai, juri berdiri
berdecak kagum pada puisi tentang Amarah dan Rumah karya Ren Meilianti. Nenek
Mari tersenyum, Sam sudah siap menyambut kekasihnya dengan peluk. Sebuket bunga
peony merah muda yang mekar di bulan Juni terangkai indah bersama Eucalipytus parvi berwangi minyak kayu
putih, paduan indah merah muda dan hijau, warna kesukaan Ren. Mereka berpose
bersama, Nenek di tengah memegang piala, Sam sebelah kiri lalu Ren di sebelah
kanan. Sebuah potret keluarga bahagia itu menjadi hiasan baru di rumah.
Namun, kebahagiaan itu berlangsung
dan padam secepat mobil yang menabrak Ren sesaat mereka pulang dari studio
foto. Di tempat yang sama, kejadian berulang, Ren tertabrak mobil, terpelanting
sepuluh meter jauhnya, Sam berlari meninggalkan Nenek. Sebab Ren berjalan di
sisi paling luar, mobil itu lebih dulu menabraknya. Nenek Mari dibantu warga
sekitar untuk duduk, sementara Sam mengurus Ren yang sudah terkulai lemas,
wajahnya pucat, cairan keluar dari mulutnya, pendarahan di kepala tak
terhentikan. Ambulans datang dan semuanya sudah terlambat. Ren, berlalu tanpa
sepatah kata yang mampu ia ucapkan. Matanya terbelalak dan tubuhnya bergetar
hebat. Nek Mari berteriak melihat itu dari kejauhan. Di atas pangkuan Sam, Ren
telah selesai. Air mata mengalir sesaat setelah tubuhnya selesai kejang,
matanya menitipkan salam perpisahan.
Selamat tinggal, Sam. Seperti itu kira-kira deskripsi
tatapnya. Kondisi menyakitkan ini meninggalkan kesedihan mendalam, padahal tadi
baru saja mereka berfoto bersama. Mengapa begitu cepat kematian datang
menjemput? Padahal kita belum sempat pulang dan memajang foto di rumah?
Rio berjalan mondar-mandir, ia sangat
gelisah menunggu di luar. Sesekali ia bersimpuh, memohon kepada Tuhan semoga
adiknya, Mei, segera sembuh dan pulih. Harapan nampak jelas ketika Mei
menggerakan tangannya, dan menangis dalam tidurnya. Dokter berlari, suster
ketar-ketir, alat kejut jantung sudah berkali-kali beraksi.
“Mas Rio, bisa minta waktu sebentar?”
Dokter memanggil Rio
tanpa memperbolehkan ia bertemu dengan Mei. Seluruh tubuhnya lemas melihat
ekspresi Pak Dokter.
“Begini, kami sudah mencoba
yang terbaik, namun pasien mengalami penurunan. Sehingga kondisi pasien
memburuk, memang benar ada tanda-tanda pasien sadar, namun organ tubuhnya belum
bisa menerima..” Rio dengan seksama mendengarkan penjelasan dokter, tetapi
sebelum itu selesai seorang suster berlari memberikan laporan bahwa pasien
sadarkan diri dan tanda-tanda vital stabil.
Mereka semua berlari menuju ruang
ICU, Mei tersadar, matanya terbuka namun belum mampu berinteraksi. Air matanya tetap
mengalir, Rio menggenggam erat tangannya. Mei menggerakan bibirnya,
mencoba untuk berbicara, tangis Rio pecah. Dokter menyarankan Mei untuk tidak
memaksa, dan menunggu hingga beberapa hari sampai ia pulih. Mei koma selama 6
bulan lalu, ia ditopang segala alat untuk menjaganya tetap bertahan. Tubuhnya
perlu waktu.
Senyum Rio kembali, ia menyuapi
adiknya dengan telaten. Mei tampak ceria, namun ia tahu persis Mei punya
hal-hal yang siap diceritakan padanya. Ia mengajak Mei berkeliling dengan kursi
roda, mereka bercanda dan tertawa bersama. Kemudian, Mei terdiam. Rio bersimpuh
di depannya, mencoba memancing Mei untuk bercerita.
Awalnya Mei diam, tetapi tak ada yang
bisa menahannya untuk bercerita, sebab ia juga rindu Nenek dan Sam. Semua
diceritakan secara rinci, bagaimana ia bermula dan berakhir di sana sebagai
Ren. Rio turut menangis dan berbahagia, adik kecilnya kini terlahir kembali
dalam kondisi lebih bahagia, entah apa yang terjadi selama Mei tertidur dalam
koma, yang jelas, Mei baik-baik saja.
Detail tempat yang diceritakan Mei
mengingatkan Rio pada suatu tempat jauh, dan berjanji akan membawa Mei ke sana.
Andai kejadian itu benar, Sam dan Nenek Mari pasti di sana. Mei memeluk Rio,
dia berterima kasih karena Rio mau percaya.
Seminggu setelah Mei sadar, Rio
membawa Mei ke tempat yang ia janjikan, butuh perjalanan jauh untuk mencapai
tempat itu. Rio mendorong Mei dalam kursi rodanya, Mei menatap semua dengan
menyeluruh, berusaha mengenali tempat ini dan teringat pada toko buku Sam yang
terletak di ujung gang.
Pria bertubuh tinggi itu memakai
pakaian berkabung, semuanya serba hitam, ia tampak murung. Ia menutup tokonya
dan berjalan pergi. Jalan-jalan ini diingat jelas oleh Mei, dan orang itu
adalah satu hal yang takkkan pernah dia lupakan, bahkan melihat punggungnya
saja, Mei tahu, itu Sam.
“Sam!” teriak Mei, Rio
memperhatikan sekitar juga mengernyitkan dahi, toko buku ini dan orang yang
dilihatnya itu sama persis seperti deskripsi Mei.
Sam menoleh, Rio mengantarkan Mei
padanya, Mei tidak dapat menyembunyikan raut bahagia pada wajahnya. Mereka
berhadapan namun saling diam.
“Sam, I know you might not
recognize me, but I know you.” ujar Mei, ia segera menunduk, kecewa muncul setelah
melihat ekspresi Sam yang dingin. Kemudian, ia meminta Rio untuk mengajaknya
pergi dari tempat itu. Rio memutarbalik kursi roda Mei, tetapi sebelum sesaat
ia bisa melakukannya, Sam menahannya.
“Mau ke mana, Rio?” tukasnya. Mendengar itu, Mei segera
membalikan pandangannya menatap Sam. Binar matanya, rasa takut dan bahagia itu
berkecamuk. Sam berjalan ke arah depan kursi roda, berlutut sehingga tatapannya
sejajar dengan Mei. Ia meraih tangan Mei, tersenyum kecil.
“Listen, Mei. Like I said before,
mau kamu Mei atau kamu Ren, aku akan selalu bisa ngenalin kamu.” Sam
memecah hening dan menukarnya dengan kebahagiaan. Mei memeluknya, mereka terbalut
dalam keharuan, sekarang semuanya di ambang nyata. Cerita tentang Sam, Ren dan
tempat ini bukanlah mimpi saat koma.
“Ini pasti Rio, yang kamu
ceritain?” Sam bertanya, ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Lalu,
mereka bertiga bercengkrama. “Oh iya, kita ke rumah Nenek ya, hari ini
upacara 7 hari kematian Ren.” ajak Sam. Mereka semua setuju untuk
merahasiakan hal itu dari Nenek, dan bergegas ke sana.
Ditengah-tengah keramaian itu, Nenek
tersenyum pada gadis di kursi roda. Bahkan ketika ia tak pernah menjumpai wajah
itu.
“Akhirnya kamu pulang.” sambut
Nenek, Rio dan Sam saling menatap heran, menerka-nerka maksud ucapan Nenek
Mari. Mei menangis memeluk Nenek Mari.
“Nenek sudah baca tulisan kamu di
buku diarynya Ren, kamu menuliskan semuanya di sana, termasuk tentang
kecelakaan Ren di hari pertama kamu bertemu Sam, kamu menuliskan betapa kamu
rindu Rio. Yah, awalnya sih Nenek tidak percaya, tapi sekarang kamu di sini.” jelas
Nenek Mari, ia menggenggam tangan Mei, ia sangat sayang pada Mei, begitu pun
sebaliknya.
“Kalau kamu datang ke sini sebagai
Mei, nenek juga pasti terima kamu. Siapapun kamu, tetap cucu nenek. Sekarang,
ayo kita doain Ren biar dia tenang di sana.” imbuh Nenek Mari.
Bunga bakung putih dan mawar sweet
pink dipilih untuk menemani Ren, ya, benar, hari ini Mei mengunjungi makam
Ren untuk berterima kasih. Berterima kasih atas kesempatan hidup yang diberikan
oleh Ren kepadanya, kesempatan untuk bertemu dengan Sam, dan terakhir
kesempatan untuk dicintai dengan utuh oleh Nenek Mari.
“Terima kasih, Ren Meilianti. “ ucap Mei seraya memegang nisan Ren.
Setengah jam berlalu diisi oleh doa dan hening, Sam membantu Mei untuk berdiri.
Mereka kembali.
“Kadang hal-hal gak terduga terjadi
dalam hidup, mungkin itu yang disebut orang Keajaiban. Misteri yang gak bisa
ditebak arah dan hasilnya, tapi apapun itu sudah pasti yang terbaik. Kita cuma
perlu yakin dan terus menjalani, karena kalau tidak bahagia itu berarti bukan
ending.” Kalimat itu
tersintas dalam pikiran Mei, senja bulat berwarna oranye pekat, burung-burung
terbang menuju pulang.
Sam tertawa melihat ekspresi Mei, “Kamu,
mikirin apa?”
“Bukan apa-apa.” Mei terkekeh.
“Mei, saat ini dan seterusnya,
boleh kita menonton senja bersama-sama?” pinta Sam.
Mei tersenyum, memegang kedua pipi
Sam, kemudian dengan cepat mengecup bibirnya. Kala itu, di saat matahari
berusaha kembali turun, ada dua jiwa yang terpaut dengan bibir yang saling
berpagut walau sebelumnya hampir dipisahkan maut.
Cerpen ini sudah diikutsertakan dalam lomba Tulisme tahun 2021/2022
Komentar
Posting Komentar